Tuesday, October 28, 2008

Perkembangan Industri Baja Nasional

Industri baja di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir seakan terus mengalami tekanan. Pada tahun 2003, munculnya kelompok negara yang disebut BRIC, yang terdiri dari Brasil, China, Rusia, dan India yang telah fokus untuk mengolah produk-produk baja hilir dan menjadikan ASEAN sebagai target market mereka membuat persaingan pasar di Produk-produk baja hilir semakin ketat. Kondisi persaingan pasar yang ketat tersebut berimbas pada produk baja hilir Indonesia karena Indonesia harus mampu bersaing dengan kelompok BRIC dan sejumlah negara produsen baja hilir lainnya.

Indonesia harus mampu mengamankan pasokan bahan baku dan meningkatkan daya saing melalui pendirian industri pengolahan baja terintegrasi agar dapat bersaing dengan negara-negara lainnya. Kemunculan kelompok BRIC di pasar baja hilir juga dikhawatirkan akan menggangu kinerja industri pengolahan baja hilir di dalam negeri maupun ASEAN. Kalangan produsen baja ASEAN menganggap kehadiran BRIC sebagai ancaman baru, mengingat kebijakan-kebijakan kelompok tersebut akan mempersulit perkembangan industri baja di ASEAN yang selama ini masih sangat tergantung pada pasokan biji besi dari kelompok BRIC.

Industri baja nasional masih sangat dipengaruhi situasi di pasar baja dunia. Kelebihan pasokan stok baja dibeberapa negara pesaing, seperti China dan Vina dapat berakibat mereka akan menjual seluruh kelebihan stok tersebut ke seluruh dunia termasuk Indonesia sehingga akan dapat mengganggu produksi baja dalam negeri. Kelebihan stok produk baja dari negara produsen baja sudah sangat mengkawatirkan pasar di dalam negeri karena terus membajiri pasar domestik. Selain itu, banyak produk-produk impor tersebut ditengarai melakukan praktek dumping sehingga membuat harganya menjadi lebih murah dari produk nasional.

Gabungan Pengusaha Besi Indonesia (Gapbesi) meminta pemerintah agar mengenai bea masuk anti dumping atas produk baja impor dari China. Tindakan tersebut ditempuh karena murahnya harga baja asal China telah membuat produk sejenis di dalam negeri menjadi tidak kompetitif. Rendahnya harga baja impor yang 50% lebih murah dari harga produk dalam negeri tersebut oleh utilitasi produk tersebut di China sudah penuh. Sementar itu, pemanfaatan produk baja di Indonesia masih rendah sehingga biaya produksinya tinggi. Dengan demikian, China melepas kelebihan stok mereka ke luar negeri sehingga harganya bisa turun dan masuk ke pasar Indonesia dengan harga murah.

Selain dikarenakan persaingan pasar yang ketat diproduk baja hilir, tekanan industri baja di Indonesia juga dari kondisi industri baja nasional yang sudah tidak efisien. Industri baja nasional sudah tidak efisien karena industri baja nasional masih menggunakan bahan baku impor dan masih menggunakan pembangkit dari gas. Selama ini industri baja nasional banyak menggunakan bahan baku dari Venezuela, Brasil dan lain-lain karena biji besi yang ada di Indonesia kadar Fe (besinya) rendah. Tetapi kenyataannya, China malah mengimpor biji besi dari Indonesia (kadar Fe-nya rendah), bahkan sampai dua juta ton pertahun. Hal ini dikarenakan China telah mampu mengembangkan teknologi yang mampu memproses biji besi dengan Fe rendah menjadi bahan baku baja. Selain itu, China juga telah menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Dengan demikian produk baja dari China dapat lebih kompetitif.

Kondisi-kondisi tersebut belum mampu dioptimalkan industri baja dalam negeri sehingga akan sulit untuk bersaing dan mengoptimalkan pasar dalam negeri maupun ekspor. Masih cukup panjang memang perjuangan Indonesia dalam menyamai bahkan melampaui negera penghasil besi dan baja seperti China. Namun, melihat perkembangan bisnis besi dan baja kedepan yang masih menjajikan perlu disiapkan langkah-langkah untuk memperkuat daya saing industri baja nasional. Depperin telah menyiapkan sejumlah kebijakan dan langkah yang mampu mendorong industri baja tumbuh dengan baik. Pertama, pemanfaatan pasar dalam negeri sebagai basis pengembangan industri nasional. Kedua, efisiensi melalui pengembangan teknologi dan restrukturisasi mesin/peralatan produksi dan ketiga, mendorong pemanfaatan sumber daya alam lokal untuk pengembangan industri hulu terutama pengolahan biji besi menjadi pellet yang merupakan bahan baku baja.

Sinergi dengan yang dilakukan Depperin, Gapbesi juga melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing industri baja dalam negeri. Berbagai upaya tersebut, antara lain, memanfaatkan pasar dalam negeri, meningkatkan efisiensi, memanfaatkan sumber daya lokal (bijih besi, batu bara dan gasa alam) dalam pengembangan industri baja hulu, mengembangkan industri baja kasar (crude steel), dan mengembangkan kapasitas industri ironmaking (basis gas).
Pada akhir tahun 2008 ini, PT. Krakatau steel, PT. Essar Indo dan PT. Gunung Garuda, perusahaan baja indonesi sudah mengurangi produksi mereka sekitar 20-25%. Selain itu, Sekitar 12 pabrik paku nasional mengalami kebangkrutan akibat krisis keuangan global, industri pipa baja untuk minyak dan gas juga telah menurunkan produksinya sebanyak 47% akibat serbuat produk impor dan industri tersebut kekurangan modal akibat seretnya likuiditas bank, dan pabrik baja yang memproduksi seng juga telah menurunkan produksinya hingga 30% (Kompas, 2008). Kondisi demikian diperkirakan akan tetap berlangsung sepanjang tahun 2009 dan akan sedikit mengalami pertumbuhan kembali setelah tahun 2010.